Sebelum manusia mengenal agama, sebelum peradaban menetapkan batas-batas kepercayaan, manusia sudah memiliki naluri—sifat dasar yang terbentuk dari akal, emosi, dan dorongan hidup. Sifat-sifat seperti kasih sayang, amarah, iri, rakus, malu, jujur, curiga, atau peduli—itu semua tidak lahir karena perintah kitab suci. Ia tumbuh dari dalam, melekat dalam jiwa manusia sebagai makhluk hidup yang berpikir dan merasa.
Sifat dasar manusia tidak mengenal agama. Orang beriman bisa bersikap kejam, orang tanpa agama bisa bersikap adil. Seseorang bisa saling menolong karena rasa kemanusiaan, bukan semata-mata karena pahala atau surga. Demikian pula, kejahatan bisa muncul meski seseorang taat menjalankan ritual agama. Maka penting disadari, bahwa agama adalah panduan, tapi bukan penentu utama karakter.
Manusia lahir dengan potensi yang sama: untuk mencintai atau membenci, untuk memberi atau mengambil, untuk jujur atau culas. Agama datang untuk mengasah, membimbing, dan mengarahkan potensi itu ke arah yang baik. Tapi jika nurani dan akal tak dipakai, agama pun bisa menjadi simbol tanpa makna.
Di zaman yang penuh polarisasi, seringkali kita lupa bahwa musuh terbesar bukanlah perbedaan agama, tetapi sifat buruk dalam diri manusia yang tak disadari atau tak dikendalikan. Dunia akan lebih damai jika manusia lebih jujur pada dirinya sendiri, bahwa menjadi baik itu pilihan batin, bukan klaim identitas.
Maka mari melihat manusia sebagai manusia. Sebelum kita bertanya “apa agamamu?”, tanyakan dulu “apa nilai kemanusiaanmu?”