Padang Pariaman, 29 Mei 2025 – Bau amis kolusi kembali menyengat dari tubuh aparat penegak hukum. Keputusan Kapolres Padang Pariaman, AKBP Faisol Amir, untuk mengembalikan tiga ekskavator dan lima mobil pengangkut yang sebelumnya disita dari lokasi tambang ilegal di Padang Pariaman pada 13 Mei 2025, menimbulkan kehebohan publik. Keputusan kontroversial ini memunculkan pertanyaan serius: Apakah ini bentuk kolaborasi diam-diam antara polisi dan pelaku tambang haram?
Pengembalian alat berat dari tambang ilegal tersebut dilakukan tanpa satu pun tersangka ditetapkan. Langkah ini mengundang kecaman keras dari masyarakat, aktivis lingkungan, hingga kalangan hukum. Aktivitas tambang ilegal selama ini dianggap sebagai biang keladi kerusakan lingkungan, kerusakan jalan, banjir, dan longsor. Lebih menyakitkan lagi, para pelaku legal masih dikenai pengawasan ketat, sementara penjahat lingkungan justru terkesan “dimanja”.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Diki Rafiqi, menyebut keputusan Kapolres sebagai preseden buruk. Dalam wawancara pada 21 Mei 2025, ia menyampaikan, “Barang bukti bisa dipakai lagi untuk kegiatan ilegal. Ini jelas masalah besar!” Ia juga mempertanyakan legalitas keputusan kepolisian dalam mengembalikan barang bukti tanpa proses hukum yang transparan. “Pemilik alat berat juga harus bertanggung jawab. Harusnya bisa dipidana,” tegas Diki.
Ketika dikonfirmasi media melalui WhatsApp pada 28 Mei 2025, Kapolda Sumbar Irjen Gatot Tri Suryanta hanya memberikan jawaban singkat:
"Silakan langsung ke Kapolres, kalau ada pelanggaran silakan ke Dumas Itwasda."
Respons yang dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk penghindaran tanggung jawab. Padahal, sebagai pimpinan tertinggi Polda, Kapolda mestinya turut memastikan adanya akuntabilitas dalam penanganan kasus-kasus besar, terlebih yang menyangkut kerusakan lingkungan dan kepentingan publik.
Media telah berupaya melakukan konfirmasi langsung kepada Kapolres dan Kasat Reskrim Polres Padang Pariaman, sebagaimana sudah diberitakan pada edisi sebelumnya. Namun jawaban yang diterima tak lebih dari formalitas, bahkan terkesan menghalangi proses investigasi lebih dalam. Semakin kuat dugaan bahwa ada upaya perlindungan terhadap pihak-pihak tertentu.
Ketika hukum tak lagi berpihak kepada keadilan, dan alat berat milik tambang ilegal bisa dengan mudah dikembalikan tanpa konsekuensi hukum, maka masa depan demokrasi dan lingkungan kita berada di ujung tanduk. Ini bukan hanya soal tambang, tapi juga soal kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian
Kini, publik menunggu: apakah Polda Sumbar akan menunjukkan komitmen pada penegakan hukum dan transparansi, atau justru membiarkan aroma kolusi ini makin membusuk. Jika tidak ada langkah tegas, maka legitimasi aparat akan terkikis di mata rakyat, dan tambang ilegal akan terus merajalela atas nama "kerja sama gelap".
(tim)