Surabaya - Peristiwa eksekusi rumah di Jalan Dr Soetomo No 55 Surabaya Kamis (19/6/2025) pukul (08.00) menjadi tanda tanya besar atas persekongkolan mafia tanah secara terang-terangan.
Menuai penolakan keras dari sejumlah elemen masyarakat. Dua organisasi sipil, yakni Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB Jatim) dan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI Jatim), hadir secara langsung dengan kekuatan penuh untuk mengawal proses eksekusi yang dinilai sarat kejanggalan dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
Pasalnya, rumah di Jalan Dr Soetomo No.55 Surabaya tersebut telah dimiliki oleh mendiang Laksamana Madya Soebroto Judono dengan cara membeli lunas kepada TNI AL pada 28 November 1972 (Surat Pelepasan No.K.4000.258/72).
Namun setelah Laksamana Madya Soebroto Judono meninggal, kepemilikan rumah yang terletak di Jalan Dr Soetomo No 55 Surabaya diperebutkan oleh pihak-pihak yang di duga adalah Mafia Tanah, yakni Rudianto Santoso, yang menggugat Tri Kumala Dewi (Putri dari Mendiang Laksamana Madya Soebroto Judono). Namun, gugatan tersebut ditolak hingga tingkat kasasi, yang menandakan adanya kejanggalan dalam seluruh proses hukum yang terjadi.
Achmad Miftachul Ulum sebagai Ketua GRIB Jaya Jawa Timur, menyatakan bahwa kehadiran pasukannya bukan untuk melawan pihak kepolisian, melainkan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan dalam proses hukum yang dinilainya berat sebelah.
"Kami akan melaporkan hal ini ke Propam. Ada tindakan yang melukai moral hukum dan melanggar etika aparat negara. Ini bukan sekadar soal legalitas eksekusi, tapi juga soal kemanusiaan dan nurani,” tegasnya.
Lantas, bagaimana mungkin sertifikat hak atas rumah dimaksud telah dicetak namun belum ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya? Hal ini semakin membingungkan masyarakat, terutama dengan alasan yang diajukan bahwa ada gugatan dari Handoko Wibisono, yang sekilas tampak sebagai pembeli beritikad baik. Namun ada hal yang tidak masuk akal bahwa Handoko Wibisono sebagai pembeli beritikad baik, meskipun membeli dari pihak yang berstatus tersangka dan DPO, terjebak dalam jaring hukum yang kompleks.
Sementara itu, Heru dari MAKI Jatim menyoroti proses hukum yang dianggap tidak konsisten. Ia mempertanyakan mengapa eksekusi dilakukan meski pemilik rumah telah beberapa kali memenangkan perkara atas hak kepemilikan rumah tersebut.
“Yang aneh, panggilan terakhir dilakukan hari ini, lalu langsung dilakukan eksekusi. Ini jelas di luar jalur hukum yang sehat. Pemilik rumah sudah tinggal di sana selama 63 tahun dan memenangkan perkara beberapa kali. Tapi kenapa tiba-tiba bisa dieksekusi?” ujar Heru.
Ini semakin menimbulkan pertanyaan mengenai sistem notaris dan kewajiban mereka untuk melakukan verifikasi menyeluruh sebelum menandatangani akta. Tidak hanya itu, pihak notaris, Ninik Sutjiati, tertanggal 9/1/2023 kepada Majelis Pengawas Notaris Jawa Timur menyatakan adanya kekeliruan dalam pembuatan akta jual beli, dengan alasan bahwa dia tidak mengetahui objek tersebut sedang dalam sengketa.
Sebagai tambahan, situasi ini menggambarkan betapa rumitnya hukum mengenai kepemilikan tanah di Indonesia, di mana seringkali individu harus berhadapan dengan praktik-praktik ilegal dan manipulasi yang merugikan hak-hak mereka.
Dalam konteks ini, tantangan untuk mendapatkan keadilan seharusnya menjadi fokus bagi seluruh pihak berwenang, terutama dalam hal penegakan hukum yang adil dan transparan. maka kita sebagai warga negara telah menjadi saksi atas bobroknya penegakan hukum dan keadilan di Surabaya serta Jawa Timur.
Kejadian ini mencerminkan, dengan jelas, adanya ketidakberdayaan masyarakat dalam menghadapi kekuasaan yang korup dan adanya jaringan mafia yang bekerja di balik layar untuk meraup keuntungan.
Di balik layar, jaringan ini mungkin terdiri dari individu-individu yang memiliki pengaruh besar, serta berkolusi dengan oknum penegak hukum, menyalahgunakan posisi mereka untuk kepentingan pribadi. Dan sementara itu, suara rakyat yang tertindas serasa diabaikan, mendorong mereka untuk berjuang dalam mempertahankan hak-haknya. Masyarakat kini semakin terbangun kesadarannya untuk bersuara dan melawan, menjadikan momen ini bukan hanya sebagai pertanda keputusasaan, tetapi juga sebagai dorongan untuk mengejar keadilan yang sejati. (Wanda)