• Jelajahi

    Copyright © Ungkap Fakta
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Halaman

    Polemik Pembatalan Pekan Kebudayaan Daerah Padang Pariaman Membara, DR. Suryadi Ingatkan Bahaya Kepemimpinan Top-Down

    Piaman Laweh
    Minggu, 13 Juli 2025, Juli 13, 2025 WIB Last Updated 2025-07-13T03:25:51Z
    masukkan script iklan disini





    Padang Pariaman — Keputusan Bupati Padang Pariaman, John Kennedy Aziz (JKA), untuk menghentikan pelaksanaan Pekan Kebudayaan Daerah (KPD) tahun 2025, menjadi isu panas yang tak kunjung mereda. Alasan pembatalan karena kegiatan budaya tersebut tidak boleh menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), memicu kekecewaan mendalam masyarakat, khususnya warga Nagari Ketaping yang sudah mengerahkan tenaga, pikiran, dan biaya untuk mempersiapkan hajatan budaya akbar itu.

    Tak hanya itu, pembatalan mendadak ini juga mengecewakan tamu undangan mancanegara. Sejumlah perwakilan seni dan budaya dari Malaysia sebelumnya telah mengonfirmasi kehadiran mereka, siap tampil dan meramaikan acara sebagai wujud jalinan budaya serumpun Melayu.

    Sejumlah masyarakat Nagari Ketaping menilai pembatalan ini sebagai bentuk pelecehan terhadap usaha masyarakat yang selama berbulan-bulan telah berlatih menyiapkan pertunjukan, membuat dekorasi, bahkan mengundang pihak luar.

    “Kami sudah menghabiskan banyak biaya, waktu, dan energi. Mulai dari latihan tari, randai, hingga persiapan kuliner tradisi. Tidak mudah mengumpulkan masyarakat dalam satu semangat. Ini menyangkut marwah nagari,” ungkap salah seorang tokoh masyarakat Ketaping, yang enggan disebut namanya.

    Kekecewaan pun meluas ke para perantau Minang. Mereka menilai pembatalan KPD secara tiba-tiba bukan hanya merugikan secara ekonomi dan moral, melainkan juga memperdalam retak sosial antara pemerintah daerah dengan masyarakat.

    Salah satu suara paling nyaring datang dari DR. Suryadi, perantau Minang yang kini menjadi dosen di sebuah universitas ternama di Belanda. Melalui komunikasi dengan Mustafa Tanjung, tokoh perantau Piaman, DR. Suryadi menegaskan bahwa persoalan pelik seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan cara sepihak.

    “Persoalan ini sebaiknya dibao duduak, baopok tagak bapusu. Begitu juga niniak mamak Nagari Ulakan dan Sunua Lubuak Aluang, sebaiknya dibawa juga sebagai Sitawa Sidingin,” ujar DR. Suryadi, mengingatkan pentingnya prinsip musyawarah mufakat dalam budaya Minangkabau.

    Ia menilai bahwa sikap tegas Dt. Rajo Sampono, salah satu tokoh adat yang sangat emosional dalam menyikapi masalah ini, adalah bentuk kegelisahan yang wajar.

    “Maraso arang dicoreangan di kaniang. Ini menjadi pelajaran bagi bupati. Di Minangkabau jangan memerintah dengan pendekatan top-down. Kalau di Jawa mungkin boleh saja karena kental feodalnya. Tapi ini Minangkabau, apalagi Piaman. Sangat berbahaya kalau penguasa daerah, baik gubernur, bupati, maupun walikota, berpikir segalanya bisa dihitamputihkan di tangannya,” ujarnya tajam.

    Suryadi mengingatkan bahwa masyarakat Minangkabau dikenal memiliki budaya egaliter yang sangat kuat. Sistem adat di Minang tidak mengenal feodalisme mutlak sebagaimana terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Pemimpin harus mampu bersikap mendengar dan bermusyawarah, bukan hanya memerintah.

    “Ini Pariaman. Salah-salah mengambil langkah, akan keluar perkataan: Kok kayo-kayo soranglah! Kami indak ka mamintak. Kok bakuaso bakuaso soranglah! Kami indak ka tunduak. Kok pinta-pinta soranglah! Nan kami indak ka mintak baraja,” tegasnya.

    Suryadi kemudian bercerita, meski dirinya kerap diundang ke berbagai forum akademik di seluruh Asia Tenggara, ia selalu berusaha menyelami denyut masyarakat saat pulang kampung.

    “Sesampai di kampung halaman, tetap mandi di hilia hiliia, bakato di bawah-bawah, duduak di lapau agak sajam duo jam mandanga lapuak-lapak ota orang, sambia mancatat dalam pikiran,” kisahnya.

    DR. Suryadi juga menyinggung latar belakang karier politik Bupati John Kennedy Aziz, yang lebih banyak ditempa di rantau, terutama di Jawa dan Jakarta. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi penyebab gap komunikasi dengan masyarakat akar rumput.

    “Saya belum begitu banyak mengenal track record Bupati Padang Pariaman sekarang ini. Tapi sepengetahuan saya, karier politik beliau banyak dibina di rantau. Agar persoalan tak terulang lagi, sebaiknya bupati harus punya staf ahli yang bisa memberi nasehat bagaimana menghadapi masyarakat di kampung halaman,” sarannya.

    Ia juga menitip pesan kepada Asmadi, tokoh lokal yang dikenal dekat dengan pemerintahan daerah, agar senantiasa mendampingi bupati supaya tidak terjebak dalam pola kepemimpinan bergaya Jakarta yang cenderung top-down.

    Pembatalan KPD bukan sekadar masalah administratif. Kegiatan budaya semacam itu dinilai berpotensi besar menggerakkan perekonomian masyarakat, mendongkrak sektor pariwisata, dan memperkuat jalinan sosial di nagari.

    Sejumlah pihak berharap Bupati JKA segera mengadakan dialog terbuka bersama niniak mamak, tokoh adat, tokoh pemuda, serta perantau, untuk mencari solusi terbaik demi menjaga wibawa pemerintahan dan keharmonisan masyarakat.

    Masyarakat Ketaping kini masih menanti kejelasan nasib Pekan Kebudayaan Daerah yang terpaksa dibatalkan. Sementara sorotan perantau terus mengalir, menuntut bupati lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan ke depannya.


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    https://www.profitableratecpm.com/knzuikf5dh?key=c788dca60ab1d7a8d48523714ff94c5e