UNGKAPFAKTA.INFO_OPINI – Di tengah hiruk pikuk inovasi medis dan efisiensi layanan kesehatan, sebuah pertanyaan mendasar kembali mengemuka: di mana letak kemanusiaan? Jefrin Haryanto, MSi. CSHt. CPSt, dalam esainya "Yang Tak Ada di Resep Dokter," mengajak kita merenungkan hilangnya sentuhan personal dalam sistem kesehatan modern.
Lebih dari sekadar diagnosis dan obat-obatan, penyembuhan sejati membutuhkan empati, perhatian, dan penerimaan tanpa syarat.
Dalam era digital dan birokrasi yang serba cepat, pasien seringkali diperlakukan sebagai "kasus" alih-alih individu dengan cerita dan emosi yang kompleks.
"Sakit tidak melulu soal virus atau bakteri," tulis Jefrin. "Kadang, ia tumbuh dari luka batin yang tak terlihat." Dan untuk luka-luka seperti ini, resep dokter hanyalah langkah awal.
Psikolog Carl Rogers, dengan konsep unconditional positive regard, mengingatkan kita bahwa manusia mendambakan penerimaan tanpa syarat. Pasien ingin didengarkan, dihargai, dan dipahami.
Namun, sistem kesehatan yang terbebani seringkali gagal memenuhi kebutuhan ini. Waktu konsultasi yang singkat, bahasa medis yang rumit, dan fokus pada hasil lab mengikis esensi hubungan dokter-pasien.
Jefrin mencontohkan seorang perawat di pelosok Manggarai yang memahami betul kekuatan empati. "Saya su tau rasa sakit, jadi saya coba bikin orang rasa nyaman," ujarnya. Kalimat sederhana ini mengandung kebijaksanaan mendalam: bahwa penyembuhan sejati melibatkan suasana yang suportif dan hubungan yang tulus.
Studi dari Harvard Medical School menegaskan bahwa hubungan yang baik antara pasien dan tenaga medis meningkatkan efektivitas pengobatan. Emosi positif memperkuat sistem imun, dan rasa diterima memicu hormon pemulihan. Singkatnya, perhatian adalah obat gratis yang ampuh.
Artikel ini menantang kita untuk merekonstruksi sistem kesehatan yang lebih manusiawi. Rumah sakit dan puskesmas harus menjadi ruang aman di mana pasien merasa didengarkan, dihargai, dan tidak dihakimi.
"Yang Tak Ada di Resep Dokter" adalah panggilan untuk kembali pada nilai-nilai dasar kemanusiaan: empati, kasih sayang, dan kehadiran yang tulus.
Di tengah krisis humanisme dalam dunia kesehatan, esai ini adalah pengingat yang kuat bahwa penyembuhan sejati melibatkan jiwa dan raga.
Bahwa seringkali, yang kita butuhkan bukanlah pil atau prosedur medis, melainkan seseorang yang hadir dan berkata: "Saya peduli. Saya melihatmu."