Indikasi mark-up, kegiatan fiktif, hingga manipulasi laporan pertanggungjawaban menjadi sorotan tajam dalam pelaksanaan program-program DPPKB.
Dugaan ini mengemuka setelah media menghimpun data dan keterangan dari sejumlah pihak internal DPPKB. Sejumlah kegiatan yang dilaporkan telah terlaksana menimbulkan tanda tanya besar, terutama terkait efektivitas serta rincian penggunaan anggaran yang dinilai tidak transparan.
Salah satu contoh kejanggalan muncul pada program Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) seperti Metode Operasi Wanita (MOW) dan Metode Operasi Pria (MOP).
Sekretaris DPPKB, Wita Hestriani, yang didampingi Kabid KB, Okta, menjelaskan bahwa kegiatan MOW dilaksanakan dengan melibatkan RS Asyifa, mencatat hanya tujuh akseptor wanita.
“Untuk pria tidak ada, karena tidak ada yang bersedia. Realisasinya Rp.26,8 juta, tapi itu sebelum saya menjabat Kabid,” ujar Wita didampingi Kabid nya Okta, saat dikonfirmasi media pada Selasa, (01/07/2025) beberapa waktu lalu.
Namun, jumlah penerima manfaat tersebut dianggap tidak sebanding dengan alokasi anggaran sebesar Rp.1,185 miliar yang diperuntukkan bagi peningkatan kesertaan MKJP.
Tak hanya itu, program edukasi stunting dan distribusi buku panduan di sembilan kecamatan yang menelan anggaran Rp.80 juta juga dipertanyakan efektivitasnya. Disebutkan kegiatan hanya dilakukan sekali di setiap kecamatan.
Ketidakterbukaan juga tampak dari anggaran monitoring sarana pelayanan KB sebesar Rp.18 juta yang tidak dijelaskan bentuk kegiatannya, serta anggaran operasional di Balai Penyuluhan Bangga Kencana lebih dari Rp 500 juta, yang menurut Wita digunakan untuk honor cleaning service, jaga malam, listrik, dan internet, namun ia mengaku tidak mengetahui rinciannya secara pasti.
Sementara itu, Kabid Program Pengendalian Penduduk, Arbi, menyebutkan bahwa sistem informasi keluarga hanya menganggarkan paket internet Rp.500 ribu per orang bagi sembilan operator, dengan total dana Rp.82 juta. Namun, data yang diperoleh media menyebutkan terdapat kegiatan pengumpulan dan pengolahan data yang memakan anggaran hingga ratusan juta rupiah, pencatatan keluarga Rp.85,8 juta, pelaporan data Rp.54 juta, dan penyusunan profil Bangga Kencana Rp.144 juta.
Program-program lainnya yang direalisasikan DPPKB juga menelan anggaran fantastis, seperti, Pengendalian Program KKBPK Rp.80 juta. Kemudian, Rakorcam, Rakordes, dan Minilok Rp.135 juta. Advokasi Program ke Stakeholders Rp.200 juta. Penggerakan Kader IMP Rp.61,8 juta. Distribusi Alkon dan Sarana KB Rp.18 juta. Program Integrasi di Kampung KB Rp.89,7 juta. Program Keluarga Berkualitas Rp.346,5 juta. Penumbuhan Kesadaran Keluarga Sejahtera (KS) Rp.425 juta. Pengadaan Sarana Ketahanan Keluarga (BKB, BKR, BKL, dll) Rp.276 juta. Dan Biaya Operasional Kader Ketahanan Keluarga mencapai Rp.1,466 miliar.
Tak kalah mencurigakan, belanja untuk alat tulis kantor, pemeliharaan kendaraan dinas, dan rapat koordinasi pun menghabiskan dana hingga ratusan juta rupiah.
Dugaan penyimpangan ini memicu reaksi keras dari sejumlah tokoh masyarakat yang menilai perlu dilakukan audit menyeluruh oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa DPPKB Tubaba sebelumnya telah dua kali ditetapkan sebagai lokasi perkara oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) dalam kasus dugaan korupsi anggaran tahun 2021-2022.
"Transparansi dan akuntabilitas sangat lemah. Banyak kegiatan tidak mencerminkan realisasi anggaran yang dilaporkan. Jika benar ada penyalahgunaan, maka harus ditindak sesuai hukum," ujar salah satu tokoh masyarakat Tubaba.
Penyelidikan mendalam terhadap penggunaan anggaran DPPKB Tubaba 2024 dinilai penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan pengelolaan keuangan negara berjalan sesuai prinsip good governance.(San)