Apabila pembangunan diklaim sebagai jalan menuju kemajuan, siapa yang sesungguhnya membayar harga dari kemajuan itu? Di Nusantara, pertanyaan itu bisa ditemukan di hutan yang digunduli, kampung adat yang dikosongkan paksa, dan suara leluhur yang dipinggirkan oleh deru alat berat.
Jawaban itu hadir karena globalisasi ekonomi yang digalangkan terus terusan lewat bendera investasi, infrastruktur, dan kemajuan digital. Sedangkan, masyarakat adat mengalami luka mendalam yang kehilangan tanah, budaya, hingga hak mereka.
Konflik masyarakat adat dan pembangunan bukanlah isu yang baru. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada 2023 terjadi lebih dari 200 konflik agraria yang mayoritas melibatkan tanah adat namun nyaris tak terdengar di telinga publik.
Kasus nyata terjadi yang dialami oleh Suku Awyu dan Moi di Papua Barat yang berjuang menolak ekspansi perusahaan sawit yang mengubah hutan adat menjadi perkebunan industri. Bagi Masyarakat Adat, hutan bukan sekedar ruang ekonomi, tetapi sumber kehidupan, identitas, dan kepercayaan spiritual.
Pembangunan seharusnya memuliakan rakyat. Namun ketika dilakukan tanpa keterlibatan dan persetujuan masyarakat adat, pembangunan justru menjadi bentuk baru dari peminggiran.
Pembangunan yang baik bukan hanya tentang angka pertumbuhan atau daya saing global. Pembangunan yang sejati adalah yang menghadirkan keadilan sosial, perlindungan budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Ketika tanah adat dihargai hanya sebagai komoditas ekonomi, kita kehilangan bukan hanya warisan leluhur, tapi juga masa depan yang manusiawi.
Masyarakat adat telah terlalu lama disakiti oleh proyek-proyek yang tidak mereka minta. Kini saatnya negara hadir bukan sebagai alat investor, tapi sebagai penjaga keadilan. Jangan sampai kita membangun masa depan di atas luka yang tak pernah sembuh.( Rian Plaju)