Sudah cukup lama pergerakan Syarikat Islam berkiprah dalam perjalanan kehidupan berbangsa. Ia hadir sebagai sang pemula organisasi bercorak modern pada rentetan panjang perjuangan pergerakan kebangsaan, dimulai sejak masa perlawanan menghadapi dominasi bangsa Belanda, masa kemerdekaan bangsa, dan hingga hari ini. Tahun ini Syarikat Islam genap berusia 120 tahun dari sejak berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905 yang kemudian bermetamorfosis menjadi Syarikat Islam.
Organisasi pergerakan ini terbuka bagi siapa pun untuk bergabung menjadi anggota atau pengurus atau simpatisan. Lalu apa pentingnya berhimpun dalam Syarikat Islam? Seperti disebutkan oleh Presiden Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, Dr. Hamdan Zoelva bahwa berhimpun dan aktif di Syarikat Islam kekinian, reasoning yang paling relevan adalah ‘demi merawat sejarah bangsa’. Lewat Syarikat Islam (SI) bersamaan dengan kehadiran tokoh-tokohnya itulah berbagai-bagai peristiwa kesejarahan bangsa ini terjadi, sekaligus tercetus gagasan-gagasan hebat tentang bagaimana cara hidup bermasyarakat dan berbangsa. Semua terjadi ketika para tokoh penggeraknya berhadapan-hadapan langsung dalam menentang kekuasaan kolonialisme demi membela nasib bangsanya sendiri. Kepedulian merawat sejarah inilah yang tak boleh dilupakan.
Selain ‘merawat sejarah bangsa’, yang lainnya adalah sebagai bentuk ‘berkesadaran sejarah’. Bukankah dengan senantiasa merasa kaya akan pemilikan bumi yang subur beserta kakayaan yang tersimpan dalam buminya, telah menjadikan bangsa Indonesia begitu percaya diri dalam menjalani kehidupan, tapi lalu lupa pada keadaan yang melingkupinya. Daya juang dan kreativitas seakan tumpul terhalang oleh rasa percaya diri yang ‘salah’ itu, bangsa kita pun tak berkembang. Sementara, beberapa negara yang tidak memiliki SDA justru berhasil melesat menjadi negara kaya dan maju yang mampu bersaing dalam percaturan global, seperti Singapura yang mengandalkan perdagangan dan jasa untuk membangun maju negaranya. Jepang maju dengan mengandalkan sumber daya manusia beretos kerja tinggi disertai dengan penguasaan sains dan teknologi. Sementara kita, Indonesia?
Sadar akan sejarah, maka yang dibutuhkan adalah memperbarui cara berpikir. Mengubah mindset warga bangsa melompat secara lateral menjadi titik awal penting untuk bangsa kita mengejar ketertinggalan yang mengungkungi selama ini, sebagaimana secara cemerlang dilakukan Turki di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang sungguh amat relevan untuk menjadi inspirasi bangsa Indonesia. Dari Turki kita belajar, bahwa memberikan layanan pada kelayakan hidup dan kesempatan rakyat berkreativitas dengan seluas-luasnya adalah menjadi kunci keberhasilan Turki dalam mengangkat dirinya hingga mampu melampaui tingkat kemakmuran negara-negara jirannya di Asia Tengah dan Timur Tengah.
Guna menghadapi pertarungan global dengan berbagai arus tantangannya SI memilih kembali ke akar perjuangan (back azimuth) yakni menggerakkan dakwah ekonomi umat, ekonomi rakyat. Langkah ini bukan sekadar nostalgia sejarah tetapi merupakan respon terhadap kesenjangan ekonomi dan lemahnya daya saing umat yang masih menjadi masalah utama bangsa Indonesia. Kebangkitan SI hari ini adalah panggilan sejarah. Kita ingin mengembalikan marwah SI kembali menjadi motor penggerak ekonomi kerakyatan.
SI tidak mengambil posisi untuk bicara seputar ibadah ritual dan hal-ihwal terkait dengan tema-tema pemahaman tentang ajaran Islam semata tapi lebih memfokuskan diri membangun kekuatan ekonomi yang berkeadilan dan berkemandirian. Mendorong agar umat Islam menjadi pelaku aktif di sektor produksi, perdagangan, dan industri, dan sebagainya sehingga kita untuk tidak lagi sekadar menjadi konsumen.
Kita sama menyadari bahwa memang ada satu urusan asasi yang terabaikan, karena sejak diraihnya kemerdekaan bangsa urusan penghidupan ekonomi ini kurang menjadi perhatian serius lantaran para penggerak SI lebih fokus dalam urusan politik praktis an sich. Maka mengubah mindset yang ada dari paradigma politik kepada cara pandang baru: menggerakkan perekonomian umat adalah menjadi keniscayaan. Tak semudah membalikkan telapak tangan, memang. Tetapi itu di situlah seninya perjuangan, sebab sebuah tantangan yang merintangi apakala berhasil dihadapi dengan menyiasatinya secara arif dan sistematik, ia akan berujung pada keberhasilan.
Syarikat Islam tengah melayari transformasi kerak kejuangannya sejak tahun 2016, berkhidmat untuk mengurusi pekerjaan keumatan paling fundamental yaitu melakukan penguatan bidang ekonomi kerakyatan menuju kemandiriannya. Kembali ke garis azimut bermakna bahwa SI melakukan retrospeksi diri: menengok ke belakang dan merenungkan peristiwa, pengalaman, dan keberhasilan kerja di masa lalu untuk mempelajari dan mengidentifikasi demi perbaikan di masa mendatang. Berkonsentrasi menggerakkan dan mendorong bangun kembali urusan ekonomi kerakyatan adalah sebagai konsekuensi dari maksud back azimuth-nya Syarikat Islam dalam dedikasi kejuangannya hari ini dan ke depan.
Pertanyaannya kemudian bagi kaum yang faham: maukah kita berkhidmat untuk membangun dan memberdayakan umat berlepas dari jerat kemiskinan? Atau kita nikmati saja hidup di alam ‘kemerdekaan’ seperti selama ini meski senantiasa bangsa kita berada di bawah bayang-bayang pengaruh ‘kekuasaan’ pihak asing?
BILLAHI FII SABIILIL-HAQ.
Syafruddin DJOSAN