Padang Pariaman,Jum’at 19 September — Di sebuah rumah sederhana di VII Koto Sungai Sariak, seorang ibu hanya bisa menangis pelan ketika mengenang percakapan terakhirnya dengan sang anak. Suaranya parau, matanya sembab.
> “Anak saya pulang dari sekolah, lalu bertanya kenapa ijazahnya belum bisa diambil. Saat saya bilang belum sanggup bayar, dia marah dan bilang, ‘Ibu nggak serius mikirin masa depan saya’… Saya cuma bisa diam.”
Kisah ini adalah satu dari sekian banyak cerita pilu para orang tua siswa SMA Negeri 1 VII Koto Sungai Sariak, yang mengaku mengalami tekanan mental dan konflik keluarga akibat kebijakan sekolah yang mewajibkan pelunasan uang komite sebesar Rp90.000 per bulan sebelum ijazah siswa bisa diserahkan.
Dalam bayangan orang tua, kelulusan anak adalah momen bahagia. Namun, di sekolah ini, kelulusan justru membawa kekhawatiran dan rasa malu. Sejumlah siswa disebut merasa tertekan karena ijazah mereka tertahan, sementara teman-teman lainnya sudah bisa melangkah ke jenjang berikutnya.Lebih menyakitkan lagi, tekanan dari pihak sekolah tidak hanya menyasar orang tua, tapi juga anak-anak mereka. Seorang siswa mengaku dipanggil oleh oknum sekolah dan disebutkan jumlah tunggakan di hadapan teman-temannya.
Akibatnya, ia merasa rendah diri dan mulai menyalahkan orang tuanya di rumah.
> “Anak saya biasanya penurut. Tapi sekarang jadi emosional, gampang tersinggung. Mungkin karena malu terus ditagih, sedangkan kami belum bisa bayar,” tutur seorang ayah dengan suara tertahan.
Sekolah berdalih bahwa dana komite digunakan untuk membayar guru honorer dan petugas kebersihan. Namun, wali murid menilai tidak ada transparansi dan fleksibilitas, bahkan siswa tidak bisa mengambil ijazah jika belum melunasi kewajiban tersebut. Jika tidak mampu membayar, orang tua harus menandatangani surat perjanjian bermaterai.
Padahal, menurut Permendikbud No. 75 Tahun 2016, sumbangan dari komite sekolah harus bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak boleh menjadi syarat layanan pendidikan.
> “Kami tidak menolak membantu sekolah. Tapi bukan begini caranya. Masa depan anak kami tidak seharusnya digadaikan karena uang,” ungkap salah satu wali murid.
Salah seorang wali murid menyebut bahwa praktik seperti ini bisa meninggalkan luka psikologis jangka panjang, baik pada siswa maupun orang tua.
> “Remaja berada pada masa rentan. Ketika mereka merasa tertinggal atau dipermalukan di depan teman karena hal-hal yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka, mereka bisa merasa marah, kecewa, bahkan depresi. Ini harus segera dihentikan,” ujar seorang wali murid.
Dalam berbagai aturan nasional, ijazah siswa adalah hak mutlak yang tidak boleh ditahan, apa pun alasannya. Kementerian Pendidikan dan Ombudsman RI telah berulang kali menegaskan bahwa tindakan menahan ijazah karena alasan finansial melanggar hukum dan hak anak atas pendidikan.
Kini, para orang tua mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat untuk:
Segera menghentikan praktik penahanan ijazah.
Melakukan audit terhadap keuangan komite sekolah.
Mengevaluasi kebijakan kepala sekolah yang dinilai sudah melampaui batas kemanusiaan dan etika pendidikan.
Di balik angka Rp90.000 per bulan itu, tersimpan banyak cerita keluarga — ada yang harus memilih antara bayar sekolah atau beli beras, antara menebus ijazah atau membeli obat untuk orang tua yang sakit.
> “Kami tidak minta dimanjakan. Kami cuma ingin sekolah tidak mempermalukan anak kami karena kami miskin,” kata seorang ibu sambil memeluk erat map kosong yang seharusnya sudah berisi ijazah anaknya.
Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebas dari kemiskinan dan keterbelakangan. Tapi jika sistem pendidikan justru menjadi beban, bahkan memecah keluarga, maka ada yang sangat salah — dan harus segera diperbaiki.