Padang Pariaman — Di sebuah rumah sederhana di VII Koto Sungai Sariak, seorang ibu hanya bisa menangis pelan ketika mengenang percakapan terakhirnya dengan sang anak. Suaranya parau, matanya sembab.
“Anak saya pulang dari sekolah, lalu bertanya kenapa ijazahnya belum bisa diambil. Saat saya bilang belum sanggup bayar, dia marah dan bilang, ‘Ibu nggak serius mikirin masa depan saya’… Saya cuma bisa diam,” ujarnya lirih.
Kisah ini hanyalah satu dari sekian banyak cerita pilu orang tua siswa SMA Negeri 1 VII Koto Sungai Sariak. Mereka mengaku mengalami tekanan mental dan konflik keluarga akibat kebijakan sekolah yang mewajibkan pelunasan uang komite sebesar Rp90.000 per bulan sebelum ijazah bisa diserahkan.
Kelulusan yang Membawa Beban
Bagi sebagian orang tua, kelulusan anak seharusnya menjadi momen bahagia. Namun, di sekolah ini, kelulusan justru membawa kekhawatiran dan rasa malu. Sejumlah siswa mengaku tertekan karena ijazah mereka tertahan, sementara teman-temannya sudah bisa melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya.
Lebih menyakitkan lagi, tekanan dari pihak sekolah disebut tidak hanya menyasar orang tua, tetapi juga anak-anak. Seorang siswa bahkan dipanggil oknum sekolah dan disebutkan jumlah tunggakannya di hadapan teman-temannya. Akibatnya, ia merasa rendah diri dan mulai menyalahkan orang tuanya di rumah.
“Anak saya biasanya penurut. Tapi sekarang jadi emosional, gampang tersinggung. Mungkin karena malu terus ditagih, sedangkan kami belum bisa bayar,” tutur seorang ayah dengan suara tertahan.
Alasan Sekolah dan Kekecewaan Wali Murid
Sekolah berdalih dana komite digunakan untuk membayar guru honorer dan petugas kebersihan. Namun, para wali murid menilai tidak ada transparansi, bahkan tidak ada fleksibilitas. Siswa tidak bisa mengambil ijazah jika belum melunasi kewajiban, dan jika tidak mampu membayar, orang tua harus menandatangani surat perjanjian bermaterai.
Padahal, Permendikbud No. 75 Tahun 2016 menegaskan bahwa sumbangan komite sekolah harus bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak boleh menjadi syarat dalam pelayanan pendidikan.
“Kami tidak menolak membantu sekolah. Tapi bukan begini caranya. Masa depan anak kami tidak seharusnya digadaikan karena uang,” ungkap salah satu wali murid.
Luka Psikologis dan Pelanggaran Hak
Praktik penahanan ijazah ini dinilai dapat meninggalkan luka psikologis jangka panjang, baik pada siswa maupun orang tua.
“Remaja berada pada masa rentan. Ketika mereka merasa tertinggal atau dipermalukan di depan teman karena hal-hal yang seharusnya bukan tanggung jawab mereka, mereka bisa merasa marah, kecewa, bahkan depresi. Ini harus segera dihentikan,” tegas seorang wali murid.
Secara hukum, ijazah siswa adalah hak mutlak yang tidak boleh ditahan dengan alasan apa pun. Kementerian Pendidikan dan Ombudsman RI berulang kali menegaskan bahwa tindakan menahan ijazah karena alasan finansial melanggar hukum serta merampas hak anak atas pendidikan.
Tuntutan untuk Dinas Pendidikan
Kini, para orang tua mendesak Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat untuk:
- Segera menghentikan praktik penahanan ijazah.
- Melakukan audit terhadap keuangan komite sekolah.
- Mengevaluasi kebijakan kepala sekolah yang dinilai sudah melampaui batas kemanusiaan dan etika pendidikan.
Di balik angka Rp90.000 per bulan, tersimpan dilema keluarga — ada yang harus memilih antara membayar sekolah atau membeli beras, antara menebus ijazah atau membeli obat untuk orang tua yang sakit.
“Kami tidak minta dimanjakan. Kami cuma ingin sekolah tidak mempermalukan anak kami karena kami miskin,” kata seorang ibu sambil memeluk erat map kosong yang seharusnya sudah berisi ijazah anaknya.
Pendidikan seharusnya menjadi jalan pembebas dari kemiskinan. Namun, ketika sistem pendidikan justru menjadi beban dan bahkan memecah keluarga, maka ada sesuatu yang sangat salah — dan harus segera diperbaiki. (tim media)