• Jelajahi

    Copyright © Ungkap Fakta
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Halaman

    Razia PETI Sekayok Bengkayang: Antara Penegakan Hukum, Perut Rakyat, dan Dugaan Permainan Oknum

    Selasa, 26 Agustus 2025, Agustus 26, 2025 WIB Last Updated 2025-08-26T02:24:02Z
    masukkan script iklan disini




    Bengkayang – Senin sore, 25 Agustus 2025, kawasan Sekayok, Kelurahan Sebalo, Kabupaten Bengkayang kembali memanas. Aparat gabungan melakukan razia terhadap aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI). Yang terjadi bukan sekadar operasi penertiban, melainkan drama sosial penuh risiko: ricuh, penahanan aparat, hingga barter hidup manusia dengan manusia.


    Ketika seorang penambang bernama Mikael, yang dianggap “panutan” oleh komunitas penambang, diamankan aparat, massa langsung meledak. IPDA Pepen Saiyan—seorang perwira muda berbaju putih—hampir menjadi korban amukan massa. Satu kendaraan dinas yang ditumpangi Kapolres Bengkayang pun rusak dihantam kemarahan.


    Situasi kian genting. Massa menahan aparat agar tidak keluar lokasi, memaksa skenario “tukar guling”: anggota polisi yang ditahan baru boleh dilepaskan jika Mikael dan penambang lain yang ditangkap dibebaskan. Semua terjadi sekitar pukul 16.40 WIB, mencerminkan betapa tipisnya garis antara penegakan hukum dan ledakan sosial di daerah tambang rakyat.


    Rakyat Kecil di Persimpangan Perut dan Hukum


    Bagi masyarakat Sekayok, menambang bukanlah pekerjaan glamor, melainkan pilihan pahit untuk bertahan hidup. Lapangan kerja nyaris tak ada, sementara harga beras, sekolah anak, dan kebutuhan dapur tak bisa ditunda.


    “Kalau kami berhenti, dapur kami tidak mengepul. Pemerintah cuma bisa melarang, tidak pernah kasih jalan keluar,” kata seorang penambang yang hanya bisa pasrah melihat mesin dompengnya disita.


    Di mata negara, mereka pelanggar hukum. Di mata keluarga, mereka pahlawan dapur. Ironinya, mereka dijadikan sasaran empuk razia, sementara aktor-aktor besar yang diduga membekingi PETI justru jarang tersentuh.


    Aparat di Dilema: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas


    Bagi aparat penegak hukum (APH), razia adalah tugas. Perintah harus dijalankan. Tetapi hati nurani berbicara lain.

    “Kami hanya jalankan perintah. Tapi sebenarnya hati kami berat. Yang ditangkap orang kecil, sementara yang besar-besar seolah aman saja,” ujar seorang petugas yang ikut operasi.


    Inilah wajah dilematis penegakan hukum: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Di satu sisi aparat dituntut profesional, di sisi lain mereka paham bahwa rakyat yang mereka buru hanyalah korban dari sistem yang gagal memberi solusi.


    Dugaan Permainan Oknum: PETI Sebagai ATM Gelap


    Razia demi razia digelar, tapi tambang ilegal tak pernah mati. Pertanyaannya: siapa yang diuntungkan?


    Bisik-bisik liar beredar: PETI dijadikan ATM gelap oleh segelintir oknum. Ada pungli, ada setoran, ada “bekingan”. Operasi penertiban pun dianggap sekadar formalitas, sebuah sandiwara tahunan yang tidak menyentuh akar persoalan.


    “Kalau serius mau menutup, jangan pilih-pilih. Jangan sampai PETI ini jadi ATM gelap bagi oknum. Itu yang membuat penertiban tidak pernah benar-benar tuntas,” kata seorang aktivis lingkungan Bengkayang.


    Jika dugaan ini benar, maka razia hanyalah panggung teatrikal: rakyat jadi korban, aparat di lapangan jadi tameng, sementara keuntungan gelap mengalir ke kantong segelintir orang.


    Suara Adat: Hukum Negara Vs Kearifan Lokal


    Tokoh adat Bengkayang, Apai Jali, menilai persoalan PETI tidak bisa dilihat dengan kaca mata hukum semata.

    “Menambang emas tradisional bukan hal baru bagi kami. Orang Dayak sejak dulu hidup berdampingan dengan alam lewat tambang rakyat. Tapi sekarang, negara masuk dengan hukum yang kaku, rakyat tidak diberi ruang. Kalau dilarang, kasih jalan legal. Jangan perlakukan rakyat seperti penjahat di tanahnya sendiri,” ujarnya.


    Ia memperingatkan, jika pemerintah terus menutup mata, konflik horizontal bisa saja pecah. Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil bisa melawan, dan bentrokan aparat vs rakyat hanyalah soal waktu.


    Pandangan Akademisi: Legalisasi, Bukan Razia


    Menurut akademisi Universitas Tanjungpura, Dr. Yulianus, M.Si, razia hanyalah solusi kosmetik.

    “Selama ada kebutuhan ekonomi dan celah hukum, PETI akan selalu hidup kembali. Jalan keluar adalah legalisasi terbatas melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dengan pengawasan ketat terhadap lingkungan. Jika tidak, kita hanya berputar dalam siklus: razia–tenang–razia lagi,” jelasnya.


    Ia mengingatkan, dampak ekologis tambang ilegal jauh lebih mahal dari sekadar biaya operasi penertiban. Sungai tercemar, hutan rusak, dan biaya pemulihan lingkungan bisa melampaui keuntungan ekonomi jangka pendek.


    Kesimpulan: PETI, Bom Waktu yang Dibiarkan Berdetik


    Insiden Sekayok bukan sekadar razia gagal. Ia adalah cermin retak dari kegagalan negara mengelola tambang rakyat. Rakyat terjepit, aparat dilema, oknum diduga bermain, pemerintah absen memberi jalan keluar.


    PETI ibarat bom waktu: merusak ekologi, merapuhkan hukum, dan mengikis keadilan sosial. Razia tanpa solusi hanya menunda ledakan, bukan mencegahnya.


    Selama legalisasi yang adil dan pengawasan ketat tidak dijalankan, razia akan terus berulang—dari Sekayok ke Sambas, dari Kapuas Hulu ke Melawi—menjadi ritual tahunan yang merugikan semua pihak kecuali segelintir orang yang pandai menangguk di air keruh.


    Tim : Investigasi

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    https://www.profitableratecpm.com/knzuikf5dh?key=c788dca60ab1d7a8d48523714ff94c5e